Pencarian

BUAT PAPA DI SURGA

>> 19 January 2009

Pandangan menyelidik lelaki tua dari dalam ruangan kecil itu menghentikan langkahku untuk sesaat. Dia tersudut diruang yang cukup remang menatap dari balai bambu yang menyatu dengan dinding diruangan itu. Langkahku yang sempat terhenti ketika hampir sampai diberanda pondok kecil itu kuayunkan lagi dengan sedikit ragu menghampirinya. Itu kulakukan untuk membuktikan aku hanya melihat-melihat sekeliling rumah Ryza saat dia sibuk mempersiapkan keperluan acara keluarganya. Selain itu aku juga menghormati pandangan lelaki tua yang seakan mempersilahkan aku masuk. Belum sempat aku mengucapkan apa-apa, “Kawan Ryza?” tanyanya. “Iya Pa” jawabku langsung mengakrabkan diri. Ada keyakinanku dia adalah papanya Ryza teman akrabku yang akhir-akhir ini cukup dekat denganku karena beberapa kegiatan yang kami jalani bersama. Mata bulat itu tetap dengan pandangan menyelidik yang mengingatkan aku pada mata Ryza. Rupanya dari lelaki ini dia mendapatkan mata yang sangat aku kagumi itu, gumamku. Tubuh ringkih berkulit gelap itu tersenyum tapi hanya sedikit seperti dipaksakan, mungkin dia bermaksud untuk menghormatiku atau juga berusaha membuat aku merasa nyaman dan diterima, persis sifat Ryza. Di depan balai bambu tempat dia duduk ada meja sebuah kecil yang diatasnya ada muk besar berisi kopi yang hampir habis namun aromanya masih tercium dan sangat akrab dihidungku, kesukaan Ryza. Ada kursi rotan disamping meja itu, namun aku tidak duduk disitu karena selain tidak dipersilahkan aku juga enggan duduk karena dari tadi duduk sampai capek dan akhirnya aku berjalan-jalan kebelakang rumah Ryza dan akhirnya menemukan pondok kecil ini. Aku tetap berdiri membalas senyumannya dengan tulus sampai akhirnya ia menanyakan namaku. “Rani. Maharani Rahmadika Putri”. Jawabku sambil tetap tersenyum. “Nama yang bagus”. Balasnya dengan nafas tertahan dan agak tersendat. “Papa sakit?” tanyaku agak khawatir. “Sekarang sudah tidak lagi Nak”. Jawabnya seakan berusaha menghiburku, seperti Ryza. “Rani..., “ katanya memecah kebisuan, eh..dia menyebut namaku. Aneh seperti tersihir dalam beberapa detik saja aku sudah merasa sangat akrab dan sangat dekat dengan lelaki itu. “Jangan Rani terlalu melarang-larang Ryza, ndak usah pula disuruh ini itu dulu. Kasihan Papa sama Rani.” katanya melanjutkan. Sesaat kemudian aku tercenung, bingung maksud perkata papanya Ryza yang tiba-tiba dan tidak jelas arah tujuannya. “Kalau Rani sayang sama Ryza doakan agar dia dapat melalui semuanya dengan baik, mungkin itu yang paling dibutuhkannya saat ini” sambungnya. Belum lunas penasaran dengan kalimat yang dilontarkan pertama kini ditambah lagi dengan kalimat kedua yang juga membingungkan. Persis Ryza yang selalu mengharuskan aku untuk menganalisa apapun yang diucapkannya.
Aku dikagetkan azan Ashar didalam kebingunganku dan entah bagaimana aku telah berada lagi ditengah acara keluarga Ryza siap dengan perlengkapan untuk Shalat berjamaah mengakhiri acara yang sedang berlangsung. Begitu hebatkah kebingungan yang melandaku hingga aku tak tau bagaimana aku bisa berada di tengah acara ini lagi.
Selesai acara aku diantar Ryza. Jalan yang kami lalui sungguh indah, sawah membentang ditingkahi semilir angin yang sejuk dan mendamaikan. Aku belum sempat menceritakan kejadian tadi pada Ryza. Aku sangat menikmati kesempatan perjalanan bersamanya. Aku maklum dia sangat sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk mendengar hal-hal yang dianggapnya tidak penting. Perjumpaan aku dengan papanya dan kebingunganku dengan kata-kata papanya bukanlah hal prioritas untuk dibicarakan pada kesempatan langka ini.
Aku mengaggumi Ryza karena kepintarannya dan tatapan matanya yang tajam membuat aku terkesima. Dia ambisius dan pekerja keras. Langkah-langkah ekstrimnya dalam menghadapi berbagai masalah membuat dia dipuja sekaligus dicerca. Kelebihan dan kekurangannya sering menjadi topik bahasan yang hangat di setiap forum. Dia seorang aktifis garis keras namun juga berjiwa sosial. Dia membingungkan dan sulit ditebak namun dibalik semua itu dia juga memiliki sisi lembut dan ringkih bahkan rapuh. Lebih jauh lagi dia pernah memvonis dirinya keropos dan siap menanti kehancuran yang menghadang dipinggir jurang yang menganga dihadapannya. Dikesempatan lain dia juga mengklaim kecemerlangan yang akan digapainya sampai puncak karier yang diyakininya mampu diraihnya. Dia menjelaskan langkah-langkah meniti tangga sukses dengan gamlangnya. Sama lancarnya dengan dia menangisi kemalangan-kemalangan yang menimpanya dan menghambat langkahnya. Aku benar-benar dibuat kagum, simpati sekaligus bingung mengikuti alur hidupnya.
Apapun dia bagaimanapun jalan hidupnya tak dapat kupungkiri kalau aku sayang dia. Aku kembali teringat kata-kata papa Ryza yang membuat aku kebingungan. Sebenarnya aku malu juga dengan kata-kata papanya yang menuduh kalau aku sayang Ryza. Tapi mau bagaimana lagi karena kenyataannya kalau aku memang sayang. Rasa sayang aku wujudkan dalam bentuk perhatian dan kepedulian terhadap apapun yang dihadapinya. Aku sering menghubunginya mengirimkan pesan singkat sekedar menanyakan kabar ataupun mengingatkan untuk istirahat dan makan ataupun menjaga kesehatan. Namun semua itu membuat Ryza merasa tak nyaman dan menganggap aku berlebihan. Biarlah aku harus sabar kataku dalam hati setiap aku kecewa atas tanggapan Ryza yang sering membuat aku terluka.
Pernah suatu ketika aku menyarankan pada Ryza untuk tidak terlalu keras menghadapi suatu kasus, ada baiknya mundur selangkah untuk maju beberapa langkah. Jangan terlalu ambisi tetaplah bersyukur dan selalu ikhlas menerima kenyataan. Tapi dasar Ryza yang memang pintar selalu punya pembenaran untuk semua tindakannya. Kadang-kadang aku khawatir akan keselamatannya. Lagi-lagi dan lagi dia selalu menganggap aku berlebihan.
Aku tercenung, kurenungkan lagi kata-kata papa Ryza mungkin dia bermaksud melindungi aku atau kasihan melihat aku yang terus kecewa dan terluka. Namun aku melakukan semua itu karena aku sayang Ryza, aku peduli aku mau jadi bagian hidupnya. Aku tidak mau dia salah jalan karena ambisinya aku mau mendampingi langkah-langkahnya. Aku ingin menjadi kekuatannya disaat lemah, aku ingin menghiburnya disaat sedih. Tapi kalau menurutnya itu berlebihan dan nggak penting, mau bagaimana lagi. Mungkin ada benarnya kalau aku sayang dia aku cukup memanjatkan do’a untuk nya. Semoga Tuhan selalu melindunginya mengarahkan langkahnya kejalan yang benar mencapai cita-citanya. Karena aku yakin tidak ada yang mampu menerangi hati manusia kecuali Tuhan.
“Terimakasih Pa”, kataku dalam hati. Karena kata-kata papa Ryza telah membuka pikiranku untuk tidak terlalu larut memikirkan Ryza. Aku juga harus memikirkan diriku sendiri dan juga dunia yang membutuhkan aku. Tak perlu lagi mengirimkan beribu-ribu pesan singkat yang tak pernah dibalas ataupun telepon yang tidak pernah diangkat. Ataupun mengunjungi dia disela kesibukannya yang akan menghabiskan energi dan waktu saja. Biarlah Ryza dengan dunia ekstrimisnya semoga Tuhan selalu menjaganya.
Saat aku memikirkan kata-kata papanya Ryza, entah mengapa aku kembali merasakan kedekatan dengannya sama seperti rasa yang timbul saat dia menyebut namaku. Mungkin rasa empati yang ditunjukkan membuat aku merasa tenang dan dekat serta kata-katanya yang membuat aku merasa diperhatikan dan dilindungi. Persis sifat Ryza.
Baiklah, besok jika ada kesempatan aku akan coba menjelaskan pada papa Ryza kalau aku memang sayang sama Ryza, aku merasa damai berada didekatnya aku kagum pada kehebatannya. Namun aku juga salah terlalu ingin memasuki dirinya terlalu memaksakan diri untuk menjadi bagian dari hidupnya. Aku merasa perlu menjelaskannya karena aku sudah merasa dekat dengan papa Ryza dan kurasa papanya dan bahkan Ryza sendiri perlu tahu yang sebenarnya. Agar mereka tidak salah sangka terhadap sikap dan keputusanku.
Kuambil secarik kertas kutuliskan penjelasan yang akan kusampaikan pada Ryza dan papanya tentang komentar beliau tempo hari. Sudah menjadi kebiasaanku menuliskan sesuatu pada secarik kertas sebelumnya walaupun nantinya aku juga akan menyampaikannya secara lisan. Aku selalu menuliskan sesuatu dengan detail mulai dari hal kecil yang sepele sampai pada masalah yang penting. Aku teringat kebiasaanku dengan Ryza yang selalu menggoreskan sesuatu di kertas walaupun kami sedang berkomunikasi secara langsung. Ada saja yang diungkapkannya lewat goresan pena dengan tangannya yang cekatan melukiskan otaknya yang cerdas. Kutepis bayangan Ryza yang membuat aku tersenyum, kulanjutkan menulis. Kujelaskan bahwa aku memang sayang dan segala yang kulakukan adalah wujud dari rasa sayang. Aku tak bermaksud mengubah kehidupan Ryza yang memang sudah ada jauh sebelum kehadiranku. Aku hanya mengkhawatirkan hal-hal yang tidak biasa aku temui dikehidupanku dan mungkin sudah akrab dengan kehidupan Ryza. Mungkin juga aku berlebihan aku memang mentah dalam hidup. Namun sekali lagi aku sungguh tidak bermaksud apa-apa. Aku tidak bermaksud merampas kehidupan Ryza dan meleburnya dalam hidupku aku sadar itu tidak mungkin. Rasa sayang yang mungkin telah bermuara menjadi cinta telah membuat aku bersikap agak berlebihan yang membuat Ryza dan mungkin juga papanya agak terganggu atau mereka merasa kasihan padaku. Entahlah, yang pasti aku mohon maaf atas sikapku dan aku akan berusaha untuk menahan diri. Cinta ini tidak boleh menggelapkan mataku, menghanyutkanku dalam perasaan yang tak menentu, tekatku dalam hati.
Aku bingung kepada siapa aku harus menyampaikan hal ini terlebih dahulu, pada Ryza atau papanya. Aku putuskan untuk bicara pada papanya terlebih dulu, selain untuk menanggapi komentarnya, beliau agaknya lebih paham aku. Ini terbukti dari kata-kata yang diucapkannya padaku waktu itu. Alasan lain aku tak tau harus bicara apa pada Ryza untuk memulainya. Ryza tak pernah tau perasaanku atau tak mau tau. Aku tak pernah menyatakannya secara terbuka. Dia selalu menaggap hal-hal yang berhubungan dengan perasaan dan semacam itu tidaklah terlalu penting. Ryza yang ambisius menganggap semua itu hanyalah buang-buang waktu.
Kususuri jalan itu kembali, sendiri tanpa Ryza. Kulewati saja rumahnya langsung berjalan kebelakang. Namun tak kutemui pondok kecil berdinding bambu hanya beberapa rumpun pisang dan ubi kayu di ladang yang tidak begitu luas. Aku tercekat, kuedarkan pandangan, mataku tertumpu pada pandam pekuburan yang terdiri dari beberapa buah pusara. Langsung kuseret langkahku yang mulai terasa berat. Lidahku kelu aku langsung pergi tanpa sempat berpikir untuk mampir kerumah Ryza. Aku tak mau ada kejutan lagi disana, setidaknya jangan saat ini. Setelah aku merasa tiba ditempat yang aman dan aku cukup tenang, kuatur lagi nafasku yang berantakan, kuperlambat detak jantungku yang memekakkan batinku. Kuambil telepon genggamku, kutanya keberadaan Ryza tapi tak kuceritakan apa yang telah kualami. Aku menemuinya disela kesibukannya. Dari Ryza aku tau kalau papanya sudah meninggal dua puluh empat tahun yang lalu karena sakit lever, saat dia kelas satu SMP.
Aku terdiam, otakku sibuk menyusun kata-kata yang akan kusampaikan pada Ryza. Aku harus ekstra hati-hati menyampaikan apapun pada Ryza karena aku takut kalau aku dianggap terlalu berlebihan dan selalu mendramatisir sesuatu. Belum sempat aku menyampaikan apa-apa, Ryza menyentakkan kebisuanku, dia memintaku untuk pulang dengan sopan karena dia masih banyak pekerjaan dan ada tamu lainnya yang menunggu surat perjanjian yang sedang dibuatnya. Ah... selalu saja begitu gumamku. Aku tidak pernah punya kesempatan menyampaikan apa-apa. Jangankan mengutarakan perasaanku, menceritakan kejadian yang baru saja aku alamipun tidak sempat.
Akhirnya kulangkahkan kakiku menyusuri kebingunganku sendiri, ya sendiri lagi aku harus membiasakan semuanya sendiri. Kubaca lagi coretan di kertas yang berisi curahan hatiku yang akan kusampaikan pada Ryza dan papanya. Kulipat rapi kertas itu, walau tulisannya tak terlalu bagus, namun isinya sarat makna. Kutatap langit biru cerah apakah disana surga gumamku. Ingin kutitip kertas ini pada malaikat untuk disampaikan pada papa. Aku juga ingin menyampaikan terimakasih pada papa yang telah memperingatkan ku supaya tidak terlalu larut dalam perasaan. Aku merasakan ada kasih dari papa untukku. Tapi aku tetap ingin papa tahu kalau aku tetap akan menyimpan cinta untuk Ryza dalam hati. Kapanpun dia butuh cinta itu dia bisa mengambilnya.
Aku berpikir lagi, apakah yang aku alami sebenarnya. Apakah perasaanku pada Ryza terlalu dalam hingga aku mengalami hal-hal diluar kendali emosi dan rasio ku. Aku tak tau. Apakah yang aku alami wujud dari ketidakpedulian Ryza padaku, walaupun dia tidak bermaksud begitu. Entahlah aku tidak mau memikirkannya lagi. Bagaimanapun sudah ada yang tau perasaanku pada Ryza, yaitu papa di surga. Sekali lagi terimaksih pa, biarlah cinta ini kusimpan dalam hati saja.

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan Tinggalkan Komentar/Pendapat Anda...

  © Blogger template Webnolia by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP